Senin, 12 Februari 2018

4 Detik Pertama Kunci Editing



Gambar mula harus dimulai dengan gambar yang bisa menyita perhatian. Boleh gambar dramatis, dinamis, atau unik. Harus!

Fungsinya supaya penonton berminat menonton berita kita. Karena kesan pertama harus merebut minat. Editing adalah menyusun gambar menjadi cerita bukan sekadar menyusun gambar menjadi kronologi. Untuk itu editing menjadi salah satu kunci indahnya sebuah berita.

Kunci utama lain adalah pada pengambilan gambar. Kamerawan harus bisa merekam gambar yang akan digunakan untuk gambar pembuka. Tapi kamerawan juga tidak bisa melupakan pentingnya gambar intercut dan belanja gambar-gambar indah, atau beauty shot. Fungsi 4 detik pertama untuk memberi menyita mata penonton agar mau stay tune di berita kita.

Dalam editing, kita perlu memerhatikan naskah. Jika gambar kuat, maka naskah yang mengantar gambar. Tapi kalau naskah yang kuat, terpaksa gambar mengikuti naskah.

Maksud naskah mengantar gambar adalah, jika liputan kaya dengan gambar-gambar yang bicara dan dinamis, maka naskah cukup menjelaskan gambar-gambar. Tapi jika sebaliknya, yaitu gambar tidak kuat, misal terpaksa hanya berisi gambar-gambar statis, maka naskah bisa menjelaskan apapun yang diikuti dengan gambar.

Standarnya, satu gambar yang masuk dalam timeline editing adalah empat detik. Durasi di bawah empat detik akan terlalu cepat. Di atas itu terlalu lama. Tapi untuk kasus-kasus tertentu, gambar bisa roll hingga lebih dari empat detik.

Banyak videografer pemula yang menggunakan beragam transisi untuk perpindahan gambar. Ini membuat berita jadi bertele-tele dan membosankan. Sebaiknya tidak menggunakan transisi jika tidak terlalu penting. Gunakan saja cut to cut untuk menyambung gambar. Jika harus menggunakan transisi, gunakan yang sederhana saja seperti dissolve. Disolve bisa digunakan jika tidak punya gambar intercut.

Penggunaan backsound jika diperlukan boleh-boleh saja. Tapi jangan lupa menuliskan keterangan pemilik lagu tersebut. Editor harus mampu memastikan kapan level backsound dinaikkna atau diturunkan. Tentunya kalau dubbing masuk, maka level backsound harus turun.


Alangkah baiknya jika kamerawan sendiri yang mengedit gambar. Karena sejak awal pengambilan gambar dia akan paham gambar apa yang akan dia gunakan untuk pembuka maupun intercut. Gambar-gambar cantik juga tidak akan luput dari timeline editing. Tapi jika kamerawan tidak mengedit sendiri gambarnya, pastikan mendampingi editor agar gambar yang diambil bisa digunakan secara maksimal. Tetapi jika kemungkinan kedua tidak bisa dilakukan, gunakan catatan tentang gambar apa saja yang harus digunakan untuk timecode tertentu.

Minggu, 11 Februari 2018

Vlog Pendek

Membuat vlog tak perlu panjang. durasi 1 hingga 1.30 menit cukup untuk sebuah vlog. Bagi kami vlog yang singkat akan membuat informasi yang disampaikan lebih mudah dipahami. Untuk itu sampaikan satu hal saja tak perlu panjang lebar. Kalau ada hal lain yang mau disampaikan, ya tinggal buat vlog lagi.

Untuk itu persiapan sangat penting. Meski hanya membuat vlog tanpa gambar insert tapi jangan lupakan riset. Dengan riset maka kita punya materi yang akan disampaikan. Tidak masalah harus retake berulang-ulang. Namanya juga usaha.


Berikut vlog yang saya coba buat. Selamat menonton.

Sabtu, 10 Februari 2018

Tips Merekam Video dengan Gawai


Semua orang bisa jadi jurnalis. Karena semua orang berhak mendapatkan informasi apapun, mengolahnya, dan menyebarkannya dengan saluran apapun. Tapi tidak semua orang mampu melakukan kerja jurnalistik secara benar dan etis.

Verifikasi adalah kunci utama sebuah produk jurnalistik dinilai beretika dan kuat. Maka jurnalis warga harus melakukan verifikasi sebelum menyebarkan informasi yang ia miliki.

Cara mendapatkan informasi juga harus beretika. Tidak asal-asalan. Yang paling mudah adalah menyampaikan identitas ketika meliput. Lalu meminta ijin sebelum mengambil gambar. Sederhana, tapi tidak banyak yang melakukan.

Dalam hal merekam video, banyak jurnalis warga yang masih belum memenuhi standar pengambilan gambar yang baik. Penggunaan gawai sebagai perekam video juga sering tidak standar. Alih-alih berorientasi horisontal, justri vertikal.

Sebabnya sederhana. Memegang ponsel secara vertikal sangat pas di tangan. Sedangkan memegang horisontal kurang nyaman, malah cenderung mudah terlepas karena pegangan tangan kurang kuat. Tapi justru horisontal adalah orientasi yang benar

Sebagai jurnalis warga yang mencoba merekam video dengan gawai, agaknya perlu memerhatikan tips berikut.
1.   Orientasi video harus horisontal bukan vertikal. Karena dengan orientasi horisontal, suasana sekitar akan terekam secara menyeluruh
2.    Terapkan pengambilan gambar urut wide – medium – close up. Ini perlu karena video butuh gambar lebar dan detil. Juga untuk memudahkan editing.
3.   Jangan goyang. Dalam merekam gambar usahakan jangan goyang. Tidak perlu zoom in/out, pan, atau tilt yang berlebihan. Ambil gambar still saja agar yang menonton tidak pusing.
4.   Usahakan merekam banyak dan variatif dengan durasi 10 detik tiap merekam. Gambar variatif sangat perlu agar gambar yang digunakan di timeline saat editing tidak membosankan.
5. Yang tak kalah penting adalah mengenali alat yang Anda gunakan. Biarpun hanya menggunakan gawai, jangan mau kalah dengan jurnalis profesional dalam menggunakan alat liputan. Jika Anda tak mengenal dengan baik alat yang Anda pakai, bisa dipastikan akan menemui beragam kendala teknis ketika merekam.

6.     Jangan bosan mencoba jika hasil kurang memuaskan. Tirulah komposisi gambar yang dipakai oleh media mainstream. Bahkan sebelum melepas berita Anda kepublik, jangan ragu untuk mengujinya dahulu. Minimal meminta orang terdekat Anda untuk memberi penilaian.

Jumat, 09 Februari 2018

Terpenggal, Nobar Dokumenter

Peserta mendengarkan briefing panitia agar mengerjakan tugas liputan tepat waktu

Beberapa mahasiswa langsung mengeluh ketika nobar dokumenter Penjaga Pitarah Bugis produksi CNN Indonesia terpotong, “Yaaaaah…”. Nobar ini menutup pertemuan kedua yang membahas teori penulisan naskah berita TV dan editing. Preview dokumenter ini terpaksa diputus karena waktu yang sudah habis.

Sejak siang, 27 mahasiswa semester dua Fakultas Komunikasi Universitas Widya Mandala Surabaya mendapat materi tentang dasar-dasar penulisan naskah, teori dubbing, dan editing. Awalnya para mahasiswa yang masih awam dengan teori berita, bingung dengan jenis-jenis berita televisi dan teori penulisan naskah. Tapi setelah diterangkan kembali, mereka dapat memahami.

Sebagai catatan, para mahasiswa yang masih di semester dua ini belum mendapat mata kuliah tentang jurnalistik. Maka wajar jika mereka agak kebingungan. Sisi positifnya adalah mereka mendapat teori ini lebih dahulu daripada teman-teman seangkatan mereka. “Mengintip” ini bisa bermanfaat untuk kuliah mereka kelak.

Teori dubbing diberikan dengan cara langsung mencoba membaca satu paragraf dari contoh naskah yang ditampilkan di layar, “BETAPAPUN KEJAHATAN YANG DILAKUKAN/ H/ HINGGA BERUJUNG KEMATIAN GURUNYA/ TETAPLAH TIDAK BISA MENGHILANGKAN HAK-HAKNYA SEBAGAI ANAK// MESKI HARUS MENJALANI HUKUMAN ATAS PERBUATANNYA/ H TETAP HARUS MENDAPATKAN PERLINDUNGAN/ TERUTAMA DARI SERANGAN PERUNDUNGAN ATAU BULLYING//” ini adalah paragraf yang dibaca secara oral oleh tiga orang mahasiswa yang diminta mencoba.

Pembacaan dilakukan dua kali. Yaitu sambil duduk dan berdiri. Dengan membaca sambil berdiri maka suara yang dihasilkan akan beda karena suara lebih keluar. Para peserta memang tidak mungkin mendapat teori dan teknik dubbing secara utuh dalam pelatihan ini karena akan memakan waktu yang lebih lama.

Teori editing yang diberikan diharap bisa memberi gambaran umum tentang bagaimana mengedit liputan yang sudah ditugaskan pada mereka usai pertemuan pertama, Kamis 1 Februari 2018.

Jumat, 02 Februari 2018

27 Peserta Pelatihan Video Jurnalistik FIKOM WM Sampaikan Ide Liar

Sesi Komposisi Gambar Disampaikan Pada Peserta (Foto: Rizky)

“Saya merekam pakai hape. Waktu saya zoom kok pecah ya gambarnya?” lagi-lagi Leo bertanya. Sudah beberapa kali dia bertanya pada pelatihan Video Jurnalistik di kampus Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Widya Mandala Surabaya. Pertanyaan yang diajukan menunjukkan antusiasmenya sebagai peserta. Tapi bukan berarti bahwa peserta lain yang tidak bertanya tidak antusias.

Antusiasme peserta justru muncul saat menyampaikan usulan liputan di sesi akhir pelatihan hari itu. Pelatihan diadakan pada 1, 8, dan 15 Februari 2018. Pada hari pertama, ide-ide liar dengan riset yang cukup diinventarisir untuk dijadikan tugas wajib para peserta yang sudah dibagi dalam kelompok.

Dalam pelatihan itu, peserta belajar tentang komposisi gambar dan perencanaan liputan. Dalam pembahasan komposisi gambar, peserta tidak hanya mendapat teori tapi juga ditunjukkan sejumlah contoh-contoh liputan yang memenuhi standar komposisi gambar televisi.

27 peserta yang terdiri dari mahasiswa Fikom semester dua tersebut juga mendapat penjelasan tentang perencanaan liputan. Tanpa riset, mustahil sebuah lputan akan berjalan dengan baik. Riset merupakan langkah awal liputan. Karena dalam riset yang kuat, tim liputan akan mendapat gambaran jelas tentang suatu tema dari narasumber yang disiapkan.

Tidak hanya menyiapkan tema dan narasumber, riset juga bisa menentukan bagaimana liputan akan dibuat. Selain riset, survey juga tak kalah penting. Dalam era keterbukaan saat ini, survey belum tentu harus dilakukan ke lokasi. Jika memungkinkan, survey bsia dilakukan ke okasi yang akan dijadikan tempat liputan.

Tapi jika lokasi jauh, di luar Jawa atau luar negeri bahkan, survey bisa dilakukan melalui jejaring yang kita miliki dan mengonfirmasi ke narasumber.

Di sesi akhir di hari pertama pelatihan, para peserta yang sudah dibagi dalam kelompok, mengajukan satu ide liputan, dan satu ide cadangan. Cadangan diperlukan jika ide pertama tidak bisa dikerjakan karena suatu hal. Tiap kelompok yang terdiri dari tiga orang itu didampingi oleh satu orang mentor dari mahasiswa senior. Topik-topik liputan antara lain, ECOTON, Komunitas Olah Raga Calistenic, Kuliner, Wisata Buku Tua Kampoeng Ilmu, dan banyak lagi. Pada pertemuan kedua nanti, peserta akan mendapat materi tentang penulisan naskah televisi dan editing.





Unjuk Karya Berita TV Jurnalis Warga FKIP

Tio memaparkan proses liputan yang dia lakukan
Satu persatu para peserta pelatihan Video Jurnalistik memaparkan pengalaman mereka memroduksi video. Ada yang format berita, ada pula yang vlog. Dari 13 topik yang diusulkan, lima orang peserta mengumpulkan karyanya. Mereka adalah:
Himawan (dosen): CFD Berpolusi
Andri (mahasiswa): Yulius Koster Gereja
Bima (mahasiswa): Mengenal Camera Pro
Tio (mahasiswa): Safety Riding
Tris (mahasiswa): Kuliner Seblak
Dari lima karya itu, hanya satu orang yang tidak hadir memresentasikan karyanya, yaitu Tris.

Karya-karya ini dubuat selama satu pekan usai mendapat teori jurnalistik televisi pada 20 Januari 2018. Presentasi ini dilakukan pada 27 Januari 2018 di kampus Widya Mandala, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Surabaya.

Secara umum, para jurnalis masih berusaha beradaptasi dengan pengambilan gambar yang memenuhi standar televisi dan jurnalistik. Ini terlihat dari karya jadi yang sudah diedit. Karya jadi selanjutnya disebut piece/ berita.

Jurnalis juga masih sangat awam dalam mengedit gambar. Ala bisa karena biasa. Mereka akan andal ketika terus berlatih. Semua tentunya kembali ke minat masing-masing jurnalis. Tapi dari form isian yang sudah diisi sebelum pelatihan, rata-rata menyampaikan minatnya pada jurnalisme video. Semoga berlanjut pada produksi karya-karya lain yang tak kalah dasyat.

Sebagai jurnalis pemula, berita2 yang terkumpul tidak bisa dibilang gagal karena sifatnya masih mencoba. Masih mencicipi keterapilan baru. Berbeda jika mereka sudah paham jurnalisme TV dan sudah bertahun melakukannya.

Dari kelima karya itu, berita milik Tris dinilai paling asik ditonton. Karena disampaikan secara runtut dengan gambar yang lengkap. Gambar makanan seblak ada, proses pembuatan, dan lokasi. Dalam video ini, Tris juga melakukan PTC yang bahkan belum mendapatkan materi itu. Ini istimewa karena berani mencoba tanpa takut salah. 

Meski masih ada yang perlu diperhatikan seperti dubbing yang banyak poping (suara gemuruh) karena mulut terlalu dekat dengan mic. Juga gambar seblak dalam mangkuk yang seharusnya diletakkan di awal, malah berada di tengah.

Adapun empat karya yang lain tidak fair jika dibilang hancur. Karena masih taraf belajar dan mencoba. Ring Fokus justru mengapresiasi para jurnalis yang sudah berusaha sekuat tenaga dan meluangkan waktu untuk liputan.

Tidak ada liputan yang mudah. Yang ada adalah liputan itu dilakukan dengan etika atau tidak. Verifikatif atau tidak. Dan kelimanya melakukan praktek jurnalistik dengan etika.

Komunikasi dengan redaktur atau koordinator liputan sangat penting. Mereka berhak tahu mengenai kendala apapun yang dihadapi jurnalis di lapangan. Adalah tugas mereka untuk memberi pertimbangan sehingga jangan sampai liputna yang sudah dirancang berahir pupus.