Minggu, 08 April 2018

UTS Liputan Lomba Remo




Pembukaan liputan ini langsung mencuri hati saya. Kamerawan terlihat cerdas dalam mengambil gambar dan mampu mengeksplorasi kecantikan obyek liputan. Kecepatan kamerawan menentukan fokus dan ketenangan kamera patut diapresiasi. Megningat merekam obyek bergerak dengan fokus yang pas tidak mudah.

Pesan yang disampaikan baik dalam narasi maupun PTC juga berkualitas. Dalam PTC bridging reporter menyampaikan pesan yang menjelaskan tentang hakikat tari remo.

Harus diakui liputan ini masih jauh dari sempurna karena masih belum mengeksplorasi banyak detil. Dalam wawancarapun, tim kelewatan mengeksplorasi pengelaman para peserta yang semuanya anak. Wawancara dengan pihak penyelenggara yang isinya hanya menjelaskan tujuan diadakan acara, dalam liputan ini sebaiknya dikalahkan dengan pengakuan anak-anak. Boleh saja wawancara dengan lebih dari satu peserta untuk menggali ketertarikan mereka dengan tari remo. Tapi sebaiknya tidak dilakukan berjajar empat. Karena akan kehilangan fokus.

Meski jauh dari sempurna, tapi yang dilakukan tim yang terdiri dari Grandy Bagas dan Ria Setiawati layak diapresiasi. Mereka liputan ini untuk memenuhi tugas UTS dalam mata kuliah Produksi Program Televisi di Departemen Komunikasi, FISIP Universitas Arilangga Surabaya. Merekapun bisa dibilang tergolong pemula. Tapi liputan ini sangat membesarkan hati.

Minggu, 04 Maret 2018

Cerdas! PTC Reporter Karena Tak Ada Pengunjung Makan


Nasi Seblak adalah liputan karya Tris Alvianda yang dibuat untuk memenuhi tugas dalam pelatihan Video Jurnalistik yang diadakan Fakultas Keguruan dan Ilmu dengan Ring Fokus klub jurnalistik televisi. Tris membuat liputan tentang kuliner Nasi.

Sebelum karya ini dibuat, para peserta diminta mengajukan dua buah topik yang harus mereka siapkan dengan baik. Topik pertama aalah topik utama yang akan diliput. Sedangkan topik kedua adalah topik cadagan jika yang pertama gagal diliput. Sejak awal tiap tim harus merumuskan alasan pemilihan topik hingga menyiapkan nara sumber.

Di sana-sini memang masih banyak kekurangan. Misalnya gambar-gambar yang belum memenuhi unsur komposisi gambar video yang baik, editing yang masih jumping, serta gambar yang shaky atau banyak goyang.

Liputan kuliner Nasi Seblak kami, Ring Fokus dan AJI Surabaya, anggap cukup memenuhi unsur jurnalistik dalam liputan kuliner. Tris mampu menghadirkan gambar secara lengkap. Mulai dari lokasi, proses pembuatan, hingga hidangan yang sudah jadi. Yang perlu menjadi catatan penting adalah, Tris membuat PTC karena tidak menemukan satu pengunjung yang makan nasi seblak. Ini istimewa karena apa yang terjadi di lapangan/ lokasi liputan bisa saja tidak sesuai harapan atau seperti yang sudah direncanakan. Tim liputan perlu berpikir dan melakukan segala cara yang baik untuk membuat liputan sukses. Ini yang dilakukan Tris.

Pelatihan dilakukan pada 20 dan 27 Januari 2018 di kampus Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya di Kalijudan.  Pelatihan diikuti mahasiswa dan dosen FKIP.

Saddle Cafe, PTC Terbaik Liputan Kuliner a la Mahasiswa FIKOM UKWMS


Saddle Café adalah liputan karya Leonardo Edward, Gabriell  Valentino, dan Vania yang dibuat untuk memenuhi tugas dalam pelatihan Video Jurnalistik yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya bekerja sama dengan Ring Fokus klub jurnalistik televisi.

Sebelum karya ini dibuat, mereka diminta mengajukan dua buah topik yang harus mereka siapkan dengan baik. Topik pertama adalah topik utama yang akan diliput. Sedangkan topik kedua adalah topik cadagan jika yang pertama gagal diliput. Sejak awal tiap tim harus merumuskan alasan pemilihan topik hingga menyiapkan nara sumber.

Di sana-sini memang masih banyak kekurangan. Misalnya gambar-gambar yang belum memenuhi unsur komposisi gambar video yang baik, editing yang masih jumping, gambar yang kurang variatif, serta gambar yang shaky atau banyak goyang.

Liputan Saddle Café kami, Ring Fokus dan AJI Surabaya, anggap cukup memenuhi unsur jurnalistik dalam liputan kuliner. Reporter yang melakukan PTC tidak serta merta memuji enaknya hidangan, tapi mengulas cita rasa kuliner yang sudah dipesan. Untuk sekadar bilang enak, siapapun bisa. Tapi tidak semua reporter mampu menyampaikan dengan baik rasa apa saja yang ada di dalam sebuah hidangan.

Butuh kepekaan, kecermatan, bahkan pengendalian diri seorang reporter kuliner dalam melaporkan liputannya. Dia harus mampu mebedakan tiap rasa dan mengendalikan diri untuk tidak buru-buru bilang enak. Karena enak atau tidak adalah relatif. Tapi rasa jeruk, kacang, madu, atau pare adalah umum.


Pelatihan diadakan di kampus FIKOM UKWMS pada 1, 8, dan 15 Maret 2018. Pelatihan diikuti 27 peserta yang terbagi dalam 9 kelompok.

(Un)Forgetable Zone, Liputan Kritis a la Mahasiswa


(Un)Forgetable Zone adalah liputan karya Rainda Regina Fructie Amoriella, Ni Putu Indah Anggaraeni, dan Chandra Dharmawan Sasmito yang dibuat untuk memenuhi tugas dalam pelatihan Video Jurnalistik yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dengan Ring Fokus club jurnalistik televisi. Tim ini membuat liputan tentang Taman Remaja Surabaya makin sepi pengunjung.

Sebelum karya ini dibuat, mereka diminta mengajukan dua buah topik yang harus mereka siapkan dengan baik. Topik pertama aalah topik utama yang akan diliput. Sedangkan topik kedua adalah topik cadagan jika yang pertama gagal diliput. Sejak awal tiap tim harus merumuskan alasan pemilihan topik hingga menyiapkan nara sumber.

Di sana-sini memang masih banyak kekurangan. Misalnya gambar-gambar yang belum memenuhi unsur komposisi gambar video yang baik, editing yang masih jumping, serta gambar yang shaky atau banyak goyang.

Topik (Un)Forgetable Zone kami, Ring Fokus dan AJI Surabaya, anggap kritis dalam pemilihan tema. Ketika tim lain memilih meliput ragam kuliner atau café, tim ini justru memilih topik yang tidak terpikir oleh tim lain. Selain itu, tim mampu mengemas topik yang terkesan membosankan menjadi berbungkus ceria dengan gaya anak muda. Bagi kami, mereka jenius. Karena sebagai pemula, mereka sudah mampu mengusulkan ide yang belum tentu disampaikan sebayanya.


Pelatihan diadakan di kampus FIKOM UKWMS pada 1, 8, dan 15 Maret 2018. Pelatihan diikuti 27 peserta yang terbagi dalam 9 kelompok.

Senin, 12 Februari 2018

4 Detik Pertama Kunci Editing



Gambar mula harus dimulai dengan gambar yang bisa menyita perhatian. Boleh gambar dramatis, dinamis, atau unik. Harus!

Fungsinya supaya penonton berminat menonton berita kita. Karena kesan pertama harus merebut minat. Editing adalah menyusun gambar menjadi cerita bukan sekadar menyusun gambar menjadi kronologi. Untuk itu editing menjadi salah satu kunci indahnya sebuah berita.

Kunci utama lain adalah pada pengambilan gambar. Kamerawan harus bisa merekam gambar yang akan digunakan untuk gambar pembuka. Tapi kamerawan juga tidak bisa melupakan pentingnya gambar intercut dan belanja gambar-gambar indah, atau beauty shot. Fungsi 4 detik pertama untuk memberi menyita mata penonton agar mau stay tune di berita kita.

Dalam editing, kita perlu memerhatikan naskah. Jika gambar kuat, maka naskah yang mengantar gambar. Tapi kalau naskah yang kuat, terpaksa gambar mengikuti naskah.

Maksud naskah mengantar gambar adalah, jika liputan kaya dengan gambar-gambar yang bicara dan dinamis, maka naskah cukup menjelaskan gambar-gambar. Tapi jika sebaliknya, yaitu gambar tidak kuat, misal terpaksa hanya berisi gambar-gambar statis, maka naskah bisa menjelaskan apapun yang diikuti dengan gambar.

Standarnya, satu gambar yang masuk dalam timeline editing adalah empat detik. Durasi di bawah empat detik akan terlalu cepat. Di atas itu terlalu lama. Tapi untuk kasus-kasus tertentu, gambar bisa roll hingga lebih dari empat detik.

Banyak videografer pemula yang menggunakan beragam transisi untuk perpindahan gambar. Ini membuat berita jadi bertele-tele dan membosankan. Sebaiknya tidak menggunakan transisi jika tidak terlalu penting. Gunakan saja cut to cut untuk menyambung gambar. Jika harus menggunakan transisi, gunakan yang sederhana saja seperti dissolve. Disolve bisa digunakan jika tidak punya gambar intercut.

Penggunaan backsound jika diperlukan boleh-boleh saja. Tapi jangan lupa menuliskan keterangan pemilik lagu tersebut. Editor harus mampu memastikan kapan level backsound dinaikkna atau diturunkan. Tentunya kalau dubbing masuk, maka level backsound harus turun.


Alangkah baiknya jika kamerawan sendiri yang mengedit gambar. Karena sejak awal pengambilan gambar dia akan paham gambar apa yang akan dia gunakan untuk pembuka maupun intercut. Gambar-gambar cantik juga tidak akan luput dari timeline editing. Tapi jika kamerawan tidak mengedit sendiri gambarnya, pastikan mendampingi editor agar gambar yang diambil bisa digunakan secara maksimal. Tetapi jika kemungkinan kedua tidak bisa dilakukan, gunakan catatan tentang gambar apa saja yang harus digunakan untuk timecode tertentu.